tag:blogger.com,1999:blog-81218272004014679192024-02-08T02:05:00.439-08:00syair para sufiAntung Kadirhttp://www.blogger.com/profile/18392657561847849377noreply@blogger.comBlogger6125tag:blogger.com,1999:blog-8121827200401467919.post-18521102898591035772010-07-18T01:32:00.000-07:002010-07-18T01:32:04.057-07:00SYAIR ALIF-BA-TA’ltulah handai baiklah pikir<br />
dunia sekarang sudahlah akhir<br />
kepada Allah jikalau mungkir<br />
kapirlah engkau menjadi kapir.<br />
<br />
Jangan kauharap emas dan uang<br />
dunia nan fana sahajakan hilang<br />
di dalam kubur duduk seorang<br />
Kuburmu sempit terlalu petang.<br />
<br />
Gantikan bilangan alif ba ta<br />
segala huruf habis berkata<br />
memberi petua mengajari kita<br />
barang yang tuli bebal dan buta.<br />
<br />
Manusia ini banyak yang bebal<br />
mengaku dirinya orang berakal<br />
tatkala waktu kedatangan ajal<br />
baharulah handai engkau tnenyesal.<br />
<br />
Anak dan harta jangan kauria<br />
itulah amal yang sia-sia<br />
<br />
Jikalau durhaka kepada emak<br />
tiada dikata guru dan bapak<br />
mulutnya terkerat perutnya bengkak<br />
di dalam neraka tiada bergerak.<br />
<br />
Gila berlari berkampung-kampung<br />
hendak mencari tempat berlindung<br />
kepada Allah meminta tolong-tolong<br />
tobatlah aku berbuat bohong.<br />
<br />
Subhana Allah heran sekali<br />
nyawa dan badan sangatlah fani<br />
hati birahi aku tahani<br />
maka fakir mengarang sa’ir ini.<br />
<br />
Ikan nun itu ikan pertama<br />
di dalam laut terlalu lama<br />
ia bersoal dengan segala ulama<br />
bertanyakan masalah pohon agama.<br />
<br />
Dijawab pula seekor layang<br />
pohon agama itulah sembahyang<br />
berbuat ibadat malam dan siang<br />
supaya Nabi terlalu sayang.<br />
<br />
dengarkan hadith dan Firman<br />
sabda Nabi akhir zaman<br />
dunia ini seperti pinjaman.<br />
<br />
Maka berkata sekalian ikan<br />
barang yang haram jangan dimakan<br />
pekerjaan masiat hendak jauhkan<br />
perkataan dalam kitab kita dengarkan.<br />
<br />
Habislah sudah sa’ir ini<br />
menyurat lebih tiada berani<br />
sakit sungguh badanku ini<br />
hati di dalam habislah fana.<br />
<br />
Sekarang ini banyak yang indah-indah<br />
malu dan sopan lenyaplah sudah<br />
perempuan Hu lakunya orang jandah<br />
dengan taruna ia berani bercandah.<br />
<br />
Sa’ir disurat tunduk tengadah<br />
dikeluarkan ia dari dalam dada<br />
yang empunya ini paduka tuan Roorda<br />
pada zaman ini ia telah berpindah.<br />
<br />
Itulah sebabnya kami suratkan<br />
kepada sekalian handai kami katakan<br />
di negeri Banten Allah tentukan<br />
mudah-mudahan selamat Allah peliharakan.<br />
<br />
Sembah sujud kami yang hina<br />
ke bawah kadim paduka yang bijaksana<br />
kami pohonkan kepada Tuhan yang ghana<br />
persembahan kami jika berguna.<br />
<br />
Tiadalah dapat kami katakan<br />
di dalam sa’ir kami sebutkan<br />
janganlah paduka tuan lupakan<br />
adalah juga kami ingatkan.<br />
<br />
Tamatlah sudah sa’ir pun habis<br />
bulan Dulkaidah harinya Kemis<br />
jam pukul tujuh habis ditulis<br />
dipinjam di Krukut tiada majelis.Antung Kadirhttp://www.blogger.com/profile/18392657561847849377noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-8121827200401467919.post-64186299313676162642010-06-26T01:15:00.000-07:002010-06-26T01:18:19.492-07:00Syair Cinta Sufi Rabiah Al-Adawiyah Al-BashriahSyair 1<br />Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cintaMu<br />Hingga tak ada satupun yang mengganguku dalam jumpaMu<br />Tuhanku, bintang gemintang berkelip-kelip<br />Manusia terlena dalam buai tidur lelap<br />Pintu pintu istana pun telah rapat<br />Tuhanku, demikian malam pun berlalau<br />Dan inilah siang datang menjelang<br />Aku menjadi resah gelisah<br />Apakah persembahan malamku, Engkau terima<br />Hingga aku berhak merengguk bahagis<br />Ataukah itu Kau tolak, hingga aku dihimpit duka,<br />Demi kemaha kuasaanMu<br />inilah yang akan selalau ku lakukan<br />Selama Kau beri aku kehidupan<br />Demi kemanusianMu,<br />Andai Kau usir aku dari pintuMu<br />Aku tak akan pergi berlalu<br />Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu<br /><br />Syair 2<br />Ya Allah, apa pun yang akan Engkau<br />Karuniakan kepadaku di dunia ini,<br />Berikanlah kepada musuh-musuhMu<br />Dan apa pun yang akan Engkau<br />Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,<br />Berikanlah kepada sahabat-sahabatMu<br />Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku<br />Syair 3<br />Aku mengabdi kepada Tuhan<br />Bukan karena takut neraka<br />Bukan pula karena mengharap masuk surga<br />Tetapi aku mengabdi,<br />Karena cintaku padaNya<br />Ya Allah, jika aku menyembahMu<br />Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya<br />Dan jika aku menyembahMu<br />Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya<br />Tetapi, jika aku menyembahMu<br />Demi Engkau semata,<br />Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu<br />Yang abadi padaku<br /><br />Syair 4<br />Ya Allah<br />Semua jerih payahku<br />Dan semua hasratku di antara segala<br />Kesenangan-kesenangan<br />Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau<br />Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan<br />Adalah untuk berjumpa denganMu<br />Begitu halnya dengan diriku<br />Seperti yang telah Kau katakana<br />Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki<br /><br />Syair 5<br />Aku mencintaiMu dengan dua cinta<br />Cinta karena diriku dan cinta karena diriMu<br />Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingatMu<br />Cinta karena diriMu, adalah keadaanMu mengungkapkan tabir<br />Hingga Engkau ku lihat<br />Baik untuk ini maupun untuk itu<br />Pujian bukanlah bagiku<br />BagiMu pujian untuk semua itu<br /><br />Syair 6<br />Buah hatiku, hanya Engkau yang kukasihi<br />Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiratMu<br />Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku<br />Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau<br /><br />Syair 7<br />Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri<br />Ketika Kekasih bersamaku<br />CintaNya padaku tak pernah terbagi<br />Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku<br />Kapan dapat kurenungi keindahanNya<br />Dia akan menjadi mihrabku<br />Dan rahasiaNya menjadi kiblatku<br />Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan<br />Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini<br />O, penawar jiwaku<br />Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mauMu<br />Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan Mu<br />O, sukacita dan nyawaku, semoga kekallah<br />Jiwaku, Kaulah sumber hidupku<br />Dan dariMu jua birahiku berasal<br />Dari semua benda fana di dunia ini<br />Dariku telah tercerah<br />Hasratku adalah bersatu denganMu<br />Melabuhkan rindu<br /><br />Syair 8<br />Sendiri daku bersama Cintaku<br />Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang<br />Lintas dan penglihatan batin<br />Melimpahkan karunia atas doaku<br />Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna<br />Antara takjub atas keindahan dan keagunganNya<br />Dalam semerbak tiada tara<br />Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu<br />Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu<br />Lihat, dalam wajahNya<br />Tercampur segenap pesona dan karunia<br />Seluruh keindahan menyatu<br />Dalam wajahNya yang sempurna<br />Lihat Dia, yang akan berkata<br />“Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”<br /><br />Syair 9<br />Rasa riangku, rinduku, lindunganku,<br />Teman, penolong dan tujuanku,<br />Kaulah karibku, dan rindu padaMu<br />Meneguhkan daku<br />Apa bukan padaMu aku ini merindu<br />O, nyawa dan sahabatku<br />Aku remuk di rongga bumi ini<br />Telah banyak karunia Kau berikan<br />Telah banyak..<br />Namun tak ku butuh pahala<br />Pemberian ataupun pertolongan<br />CintaMu semata meliput<br />Rindu dan bahagiaku<br />Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga<br />Adapun di sisiMu aku telah tiada<br />Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau<br />Kau adalah rasa riangku<br />Kau tegak dalam diriku<br />Jika akku telah memenuhiMu<br />O, rindu hatiku, aku pun bahagiaAntung Kadirhttp://www.blogger.com/profile/18392657561847849377noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-8121827200401467919.post-47332180744981807032010-06-26T01:09:00.001-07:002010-06-26T01:09:55.797-07:00syair Jalaluddin RumiIa berkata, “Siapa itu berada di pintu?”<br />Aku berkata, “Hamba sahaya Paduka.”<br />Ia berkata, “Kenapa kau ke mari?”<br />Aku berkata, “Untuk menyampaikan hormat padamu, Gusti.”<br />Ia berkata, “Berapa lama kau bisa bertahan?”<br />Aku berkata, “Sampai ada panggilan.”<br />Aku pun menyatakan cinta, aku mengambil sumpah<br />Bahwa demi cinta aku telah kehilangan kekuasaan.<br />Ia berkata, “Hakim menuntut saksi kalau ada pernyataan.”<br />Aku berkata, “Air mata adalah saksiku, pucatnya wajahku adalah buktiku.”<br />Ia berkata, “Saksi tidak sah, matamu juling.”<br />Aku berkata, “Karena wibawa keadilanMu mataku terbebas dari dosa.”<br /><br />Syair religius di atas adalah cuplikan dari salah satu puisi karya penyair sufi terbesar dari Persia, Jalaluddin Rumi. Kebesaran Rumi terletak pada kedalaman ilmu dan kemampuan mengungkapkan perasaannya ke dalam bahasa yang indah. Karena kedalaman ilmunya itu, puisi-puisi Rumi juga dikenal mempunyai kedalaman makna. Dua hal itulah –kedalaman makna dan keindahan bahasa– yang menyebabkan puisi-puisi Rumi sulit tertandingi oleh penyair sufi sebelum maupun sesudahnya.<br /><br />***<br /><br />Aku mati sebagai mineral<br />dan menjelma sebagai tumbuhan,<br />aku mati sebagai tumbuhan<br />dan lahir kembali sebagai binatang.<br />Aku mati sebagai binatang dan kini manusia.<br />Kenapa aku harus takut?<br />Maut tidak pernah mengurangi sesuatu dari diriku.<br /><br />Sekali lagi,<br />aku masih harus mati sebagai manusia,<br />dan lahir di alam para malaikat.<br />Bahkan setelah menjelma sebagai malaikat,<br />aku masih harus mati lagi;<br />Karena, kecuali Tuhan,<br />tidak ada sesuatu yang kekal abadi.<br /><br />Setelah kelahiranku sebagai malaikat,<br />aku masih akan menjelma lagi<br />dalam bentuk yang tak kupahami.<br />Ah, biarkan diriku lenyap,<br />memasuki kekosongan, kasunyataan<br />Karena hanya dalam kasunyataan itu<br />terdengar nyanyian mulia;<br /><br />“Kepada Nya, kita semua akan kembali”<br /><br />***<br /><br />Apa Yang mesti Ku lakukan<br /><br />Apa yang mesti kulakukan, O Muslim? Aku tak mengenal diriku sendiri<br />Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim<br />Aku bukan dari Timur, bukan dari Barat, bukan dari darat, bukan dari laut,<br />Aku bukan dari alam, bukan dari langit berputar,<br />Aku bukan dari tanah, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,<br />Aku bukan dari cahaya, bukan dari debu, bukan dari wujud dan bukan dari hal<br />Aku bukan dari India, bukan dari Cina, bukan dari Bulgaria, bukan dari Saqsin,<br />Aku bukan dari Kerajaan Iraq, bukan dari negeri Korazan.<br />Aku bukan dari dunia ini ataupun dari akhirat, bukan dari Sorga ataupun Neraka<br />Aku bukan dari Adam, bukan dari Hawa, bukan dari Firdaus bukan dari Rizwan<br />Tempatku adalah Tanpa tempat, jejakku adalah tak berjejak<br />Ini bukan raga dan jiwa, sebab aku milik jiwa Kekasih<br />Telah ku buang anggapan ganda, kulihat dua dunia ini esa<br />Esa yang kucari, Esa yang kutahu, Esa yang kulihat, Esa yang ku panggil<br />Ia yang pertama, Ia yang terakhir, Ia yang lahir, Ia yang bathin<br />Tidak ada yang kuketahui kecuali : “Ya Hu” dan “Ya man Hu”<br />Aku mabok oleh piala Cinta, dua dunia lewat tanpa kutahu<br />Aku tak berbuat apa pun kecuali mabok gila-gilaan<br />Kalau sekali saja aku semenit tanpa Kau,<br />Saat itu aku pasti menyesali hidupku<br />Jika sekali di dunia ini aku pernah sejenak senyum,<br />Aku akan merambah dua dunia, aku akan menari jaya sepanjang masa.<br />O Syamsi Tabrizi, aku begitu mabok di dunia ini,<br />Tak ada yang bisa kukisahkan lagi, kecuali tentang mabok dan gila-gilaan.Antung Kadirhttp://www.blogger.com/profile/18392657561847849377noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8121827200401467919.post-62494930088311845042010-06-26T01:07:00.000-07:002010-06-26T01:08:23.213-07:00KUMPULAN SYAIR CINTA KARYA JALALUDIN RUMII.<br /><br />Cinta mengubah kepahitan menjadi manis<br /><br />tanah dan tembaga menjadi emas<br /><br />yang keruh menjadi jernih<br /><br />si pesakitan menjadi sembuh<br /><br />penjara menjadi taman<br /><br />derita menjadi nikmat<br /><br />kekerasan menjadi kasih sayang<br /><br /> II.<br /><br /> Cintalah yang telah melunakkan besi<br /><br /> mencairkan batu<br /><br /> membangkitkan yang mati<br /><br /> meniupkan kehidupan pada jasad tak bernyawa<br /><br /> mengangkat hamba menjadi sang majikan<br /><br /> .<br /><br />III.<br /><br />Cinta bagaikan sayap<br /><br />dengannya manusia terbang di angkasa<br /><br />menggerakkan ikan menuju jala sang nelayan<br /><br />menghantar si kaya meraih bintang di langit ketujuh<br /><br />Cinta berjalan di gunung<br /><br />maka gunungpun bergoyang menari<br /><br />IV.<br /><br />Cinta itu kekayaan sejati<br /><br />takkan bersatu dengannya<br /><br />singgasana raja dan sultan<br /><br />siapa yang telah mencicipi<br /><br />takkan ada lagi anggur yang melebihi<br /><br />Cinta adalah raja diraja<br /><br />kekuasaan rajapun bersujud di hadapannya<br /><br />sultan dan khalifah menjadi budaknya<br /><br />V.<br /><br />Cinta bagaikan penyakit tanpa obat<br /><br />setiap penderita meminta ditambahkan penderitaannya<br /><br />dengan suka cita mereka berharap<br /><br />kepedihan dan derita dilipatgandakan<br /><br />Takkan ada minuman di dunia<br /><br />yang manisnya melebihi racun ini<br /><br />Takkan ada lagi kesehatan di dunia<br /><br />yang lebih baik dari penyakit ini<br /><br /> Cinta memanglah penyakit<br /><br /> tetapi, penyakit yang menyembuhkan semua penyakit<br /><br />siapa saja yang pernah mengidapnya<br /><br />takkan pernah lagi menderita penyakit lain<br /><br />VI.<br /><br />Cinta adalah warisan Sang Adam<br /><br />sedangkan kecerdikan itu barang dagangan syetan<br /><br />tempat si cerdik dan bijaksana bersandar pada jiwa dan akalnya<br /><br />Cinta berarti penyerahan dri<br /><br />karena akal bagaikan seorang perenang<br /><br />yang terkadang sampai ke tepian<br /><br />sering juga tenggelam di tengah jalan<br /><br />Tak sebanding dengan Cinta ini<br /><br />ibarat bahtera Nuh yang terselamatkan<br /><br />VII.<br /><br />Tidak setiap kita berhak dicintai<br /><br />karena syarat dicintai adalah akhlak dan keutamaan<br /><br />namun ambil bagianmu sebagai pecinta dan nikmatillah<br /><br />Jika dirimu tidak menjadi yang dicintai<br /><br />maka jadilah yang mencintai<br /><br /> Jika dirimu tidak beruntung menjadi Yusuf<br /><br /> tak ada halangan bagimu menjadi Ya’kub<br /><br />Siapakah penghalang bagimu untuk mecintai…<br /><br />*<br /><br />*<br /><br />*<br /><br />(Dicuplik dari sana-sini, dari berbagai buku dan literatur. Karena hampir semua buku Indonesia tentang Rumi diterjemahkan dari bahasa Inggris, menurut saya pribadi ada yang kurang dalam rasa bahasa - jadi dengan sangat terpaksa saya ubah disana-sini untuk menyesuaikan dengan rasa bahasa yang “menurut saya” lebih enak di hati. Mudah-mudahan tidak ada makna yang berkurang. Seandainya ada yang merasa tidak cocok dengan terjemahan ini, mohon dimaklumi saja)Antung Kadirhttp://www.blogger.com/profile/18392657561847849377noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8121827200401467919.post-23010118190282451502010-06-26T01:04:00.000-07:002010-06-26T01:05:46.506-07:00Tujuan PenciptaanAlasan dunia ini diciptakan adalah untuk mengungkapkan<br /><br />apa yang harus diketahui.<br /><br />Dia menciptakan apa yang diketahuiNya<br /><br />tanpa kelahiran dan rasa sakit,<br /><br />engkau tidak dapat bermalas-malas barang sekejap<br /><br />sampai hakikat dirimu diketemukan pada saatnya.<br /><br />Perjuangan dan kerja yang kau lakukan dengan tekun<br /><br />adalah jalan menuju pengungkapan hakikat diri<br /><br />Tubuhmu adalah poros yang terus berputar<br /><br />Karena otakmu terus menarik benang.<br /><br />Kedua dunia berada dalam peristiwa kelahiran dan rasa sakitnya<br /><br />Sebabnya adalah ibu, akibatnya adalah anak.<br /><br />Angkatan demi angkatan manuisa mengulanginya,<br /><br />Hanya mata yang dicerahkan<br /><br />melihat rantai peristiwa ini.<br />(Rumi)Antung Kadirhttp://www.blogger.com/profile/18392657561847849377noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-8121827200401467919.post-84667990449725308702010-06-26T00:52:00.000-07:002010-06-26T00:53:27.781-07:00Gelora Cinta AbadiSyair-Syair Cinta<br /><br />Para sufi seringkali menggunakan metafora pengalaman batin mereka dengan sejumlah syair yang teramat indah, mengingat, syathahat atau kata-kata jadzabiyahnya sulit diuraikan dengan bahasa formal. Di bawah ini sejumlah contoh yang digunakan oleh Abul Qasim al-Qusyairi dalam menjelaskan sejumlah terminologi tasawuf melalui beberapa syair:<br /><br />Waktu<br /><br />Setiap hari ia lewat merengkuh tanganku<br />memberikan sesal dalam hatiku<br />kemudian, berlalu.<br /><br />Seperti penghuni neraka<br />Jika kulit-kulitnya terpanggang<br />kembali pula kulit-kulit itu<br />untuk sbuah derita panjang<br /><br />Bukanlah orang mati itu<br />istirahat seperti mayat<br />Kematian adalah<br />mati kehidupannya.<br />(Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq)<br /><br />Haibah Dan Uns<br /><br />Aku datangi<br />Aku tak mengerti<br />Dari mana<br />Siapa<br />Aku<br />Melainkan yang dikatakan orang-orang<br />pada diriku, pada jenisku<br />Aku datangi jin dan manusia<br />Lalu tak kutemui siapa pun<br />Lantas kuatangi diriku.<br /><br />Tiba-tiba bisikan halus dalam kalbuku:<br />Amboi, siapakah yang tahu sebab-sebab yang lebih luhur<br />wujudnya<br />toh ia bersukaria dengan kehinaan yang sesat<br />dan dengan manusia<br />Kalau engkau dari kalangan sirna yang hakiki<br />Pastikan engkau ghaib dari semesta, arasy dan kursy<br />Padahal dirimu jauh dari Haal bersama Allah<br />Jauh dari berdzikir<br />Lebih pada Jin dan Manusia.<br />(Abu Said al-Kharraz)<br /><br />Wujd (Ekstase)<br /><br />Gelas yang dibasahi air<br />karena cemerlang beningnya<br />Lalu mutiara yang tumbuh dari bumi emas<br />Sementara kaum Sufi menycikan karena kagum<br />pada cahaya air dalam api dari anggur yang ranum<br />yang diwarisi ´Aad dari negeri Iram<br />sebagai simpanan Kisra<br />Sejak nenek moyangnya.<br />(Abu Bakr asy-Syibly)<br /><br />Jam Dan Farq<br /><br />Engkau wujudkan Nyata-Mu<br />dalam rahasiaku<br />Lisanku munajat kepada-Mu<br />Lalu kita berkumpul bagi makna-makna<br />Berpisah bagi makna-makna pula<br />Jika Gaib-Mu adalah Keagungan dari lintas mataku<br />Toh Engkau buat serasi dari dalam yang mendekat padaku.<br />(Junaid al-Baghdady)<br /><br />Fana’ Dan Baqa’<br /><br />Ada kaum yang tersesat di padang gersang<br />Ada pula yang tersesat di padang cintanya<br />Mereka sirna, kemudian sirna dalam kesirnaan, lalu sirna total<br />Lalu mereka kekal, dalam kekalnya kekal dari kekaraban dengan Tuhannya.<br />(Syair yang sering dikutip para sufi).<br /><br />Sadar Dan Mabuk<br /><br />Kesadaranmu dari KataKu<br />adalah sinambung<br />Dan mabukmu dari bagianKu<br />menyilakan teguk minuman<br />Tak bosan-bosan peminumnya<br />Tak bosan-bosan peneguknya<br />Menyerah pada sudut piala<br />yang memabukkan jiwanya.<br /><br />Orang-orang mabuk kepayang memutari gelas piala<br />Sedang mabukku dari yang Maha Pemutar Piala<br />Ada dua kemabukan bagiku<br />dan hanya dua penyesal hanya satu<br />Yang diperuntuukan bagi mereka<br />hanya untukku.<br />Dua mabuk kepayang<br />Mabuk cinta<br />Mabuk abadi<br /><br />Ketika siuman<br />Segalanya bugar kembali.<br /><br />am syair lain tentang Mabuk Ilahi ini para Sufi sering mengutip syair, sbb:<br /><br />Pabila pagi cerah dengan kejora citanya<br />itulah keserasian<br />Antara kemabukan dan kesukacitaan.<br /><br />bawah ini masih seputar Rasa Mabuk Ilahi:<br /><br />Dzauq Dan Syurb<br /><br />Gelas minuman adalah susuan kita<br />Kalau tak kita rasa<br />Tak hidup kita<br /><br />Aku heran orang bicara, “Aku telah ingat Allah”<br />Apakah aku alpa? Lalu kuingat yang kulupa?<br />Kuminum Cinta, gelas piala demi gelas<br />Tuntas habis, tak puas pula<br />dahaga.<br /><br />Syair-Syair Al Hallaj<br /><br />Ana Al-Haqq, Al-Hallaj<br />Aku adalah Dia yang kucinta dan<br />Dia yang kucinta adalah aku<br />Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.<br />Jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia,<br />dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat aku<br /><br />Maha suci zat yang sifat kemanusiaan-Nya,<br />membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang.<br />Kemudian kelihatan baginya makhluk-Nya,<br />dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan minum.<br /><br />Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku,<br />sebagaimana anggur disatukan dengan air murni.<br />Jika sesuatu menyentuh Engkau,<br />ia menyentuhku pula,<br />dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku.<br />Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,<br />dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku<br />Aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami.<br /><br />Sebelumnya tidak mendahului-Nya, setelah<br />tidak menyela-Nya, daripada tidak<br />bersaing dengan Dia dalam hal<br />keterdahuluan, dari tidak sesuai dengan Dia,<br />ketidak menyatu dengan dia, Dia tidak mendiami Dia,<br />kala tidak menghentikan Dia, jika tidak berunding dengan Dia,<br />atas tidak membayangi Dia,dibawah tidak menyangga Dia, sebaliknya tidak menghadapi-Nya, dengan tidak menekan Dia, dibalik tidak mengikat Dia,<br />didepan tidak membatasi Dia, terdahulu tidak memameri Dia,<br />dibelakang tidak membuat Dia luruh, semua tidak menyatukan Dia,<br />ada tidak memunculkan Dia, tidak ada tidak membuat Dia lenyap, penyembunyian<br />tidak menyelubungi Dia, pra-eksistensi-Nya mendahului waktu, adanya Dia<br />mendahului yang belum ada, kekalahan-Nya mendahului adanya batas.<br /><br />Di dalam kemuliaan tiada aku,<br />atau Engkau atau kita,<br />Aku, Kita, Engkau dan Dia seluruhnya menyatu.<br />Fana’i Fana’i Fana’<br />Kehinaanku adalah KemuliaanMu<br />Kehilanganku adalah KerinduanMu<br />Ketiadaanku adalah KeabadianMu<br />Kepedihanku adalah CintaMu<br />Kekuranganku adalah KelebihanMu<br />Kesendirianku adalah pertemuanku denganMu<br />Kematianku adalah kebangkitanMu<br />Kebisuanku adalah TitahMu<br />Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku…<br /><br />Warna Agama<br />“Chinese Art and Greek Art”<br /><br />Rasul pernah berkata, “Ada orang-orang yang melihatku<br />di dalam cahaya yang sama seperti aku melihat mereka.<br />Kami adalah satu.<br />Walau tak terhubung oleh tali apapun,<br />walau tak menghafal buku dan kebiasaan,<br />kami meminum air kehidupan bersama-sama.”<br />Inilah sebuah kisah<br />tentang misteri yang tersimpan:<br /><br />Sekelompok Tiongkok mengajak sekelompok Yunani<br />bertengkar tentang siapa dari mereka<br />adalah pelukis yang terhebat.<br />Lalu raja berkata, “Kita buktikan ini dengan debat.”<br />Tiongkok memulai perdebatan.<br />Tapi Yunani hanya diam, mereka tak suka perdebatan.<br />Tiongkok lalu meminta dua ruangan<br />untuk membuktikan kehebatan lukisan mereka,<br />dua ruang yang saling menghadap<br />terpisah hanya oleh tirai.<br />Tiongkok meminta pada raja<br />beberapa ratus warna lagi, dengan segala jenisnya.<br />Maka setiap pagi, mereka pergi<br />ke tempat penyimpanan pewarna kain<br />dan mengambil semua yang ada.<br />Yunani tidak menggunakan warna,<br />“warna bukanlah lukisan kami.”<br />Masuklah mereka ke ruangannya<br />lalu mulai membersihkan dan menggosok dindingnya.<br />Setiap hari, setiap saat, mereka membuat<br />dinding-dindingnya lebih bersih lagi,<br />seperti bersihnya langit yang terbuka.<br /><br />Ada sebuah jalan yang membawa semua warna<br />menjadi ‘warna tak lagi ada’. Ketahuilah,<br />seindah-indahnya berbagai jenis warna<br />di awan dan langit, semua berasal dari<br />sempurnanya kesederhanaan matahari dan bulan.<br />Tiongkok telah selesai, dan mereka sangat bangga<br />tambur ditabuh dalam kesenangan<br />dengan selesainya lukisan agung mereka.<br />Waktu raja memasuki ruangan, terpana dia<br />karena keindahan warna dan seluk-beluknya.<br />Lalu Yunani menarik tirai yang memisahkan ruangan mereka.<br />Dan tampaklah bayangan lukisan Tiongkok dan semua pelukisnya<br />berkilauan terpantul pada dindingnya yang kini bagaikan cermin bening,<br />seakan mereka hidup di dalam dinding itu.<br />Bahkan lebih indah lagi, karena<br />tampaknya mereka selalu berubah warna.<br />Seni lukis Yunani itulah jalan sufi.<br />Jangan hanya mempelajarinya dari buku.<br />Mereka membuat cintanya bening, dan lebih bening.<br />Tanpa hasrat, tanpa amarah. Dalam kebeningan itu<br />mereka menerima dan memantulkan kembali<br />lukisan dari setiap potong waktu,<br />dari dunia ini, dari gemintang, dari tirai penghalang.<br />Mereka mengambil jalan itu ke dalam dirinya,<br />sebagaimana mereka melihat<br />melalui beningnya Cahaya<br />yang juga sedang melihat mereka semua.<br /><br />Selepas Ekstase (Junaid al-Baghdady)<br /><br />Orang-orang menyebutku Sufi, saat kukata<br />Darahku terdiri dari Allah. Seluruh bulu romaku<br />Bakal masuk Surga. Dan bagai Rabi’ah : kutaktakut Neraka<br />O,mata mereka berbinar. Syahwat mereka nanar<br />Inilah susahnya hidup di tengah-tengah masyarakat keledai<br />Sebab terlalu silau dan terpukau oleh matahari bumi<br />Mereka tak sekalipun membutuhkan tongkat Musa<br />Sebab mereka berjubah Al-Hallaj. Dan puas menari<br />Dalam irama khusu’ Rumi<br />Hu, hu,hu,… … …<br /><br />Aku stres, wahai kekasih. Kehilangan kata-kata<br />Di samudra kalimat-Mu. Aku menjadi gila pada suatu hari<br />Berteriak disudut-sudut kota yang hangus oleh nista<br />Ingin lari dari kungkungan para keledai. Ingin mencari<br />mukjizat Nabi : mendaki Tursina-Mu<br />berharap nemu tongkat gembala, lalu ngangon keledai dungu itu<br />di padang-padang kebenaran yang telah mereka lupakan<br />… … assalamu’aika !<br />kuketuk pintu Kau dalam ekstase panjang. Rabbi, anta maksudi<br />mereka makin terpukau. Hu, hu, hu, … …<br />merekamnya dipita-pita kaset. Memutarnya dikedai-kedai kopi<br />atau diatas pentas puisi. Menenggelamkam diri<br />dalam kebahagiaan semu di lautan yang tak mereka pahami<br />sembari mengunyah dunia<br /><br />: “Pinjami aku tongkatmu, Musa<br />biar kubelah laut kebodohan<br />yang jadi batas kebenaran<br />melangkahi rumah nurani<br />di kedalaman samudera hati.”<br /><br />Aku gila, wahai Kekasih. Aku gila !!<br />Tapi mereka keledai semakin tak sadarkan diri<br />Mengumbar gairah duniawisepanjang hari. Hu, hu, hu, … …<br />Menari-nari Rumi. “Ngigau jadi Rabi’ah<br />Tak takut Neraka, tak butuh Surga<br />Mereka tegang dalam birahi. Kemaluannya menerobos hijab<br />Dan tak lagi mampu menyimpan rahasia. Menggelinding<br />Dan pamer di panggung-panggung kolosal sekaligus murahan<br />Mendengus sana sini. Ngiler kesana kemari hingga puncak orgasme<br />Kian menjauhi bukit Tursina yang menyimpan cahaya<br />Tambah peduli pada kalimat ekstaseku<br />Sambil histeris menoreh daging diri mereka kaligrafi<br />Yang kehilangan makna : Allah, Allah, Allah, … …<br /><br />Aku gila sekaligus takut. Rabbi !<br />Mereka mengeja bibirku sebagai Kitab Suci : anta maksudi<br />Mereka membaptisku sebagai Sufi Sejati. Mereka ingin menyatu<br />Keledai itu mengunyahku santai-santai bagai mngunyah dunia busuk ini<br />: “Pinjami aku wahai Musa<br /><br />walau sebentar tongkat saktimu. Biar kungebut<br />mendaki bukit-bukti kehidupan para keledai<br />yang tengah asyik bersenggama dengan dunia<br />yang teler tanpa ingat akan cahaya di Tursina.”<br /><br />O, ekstaseku direkam dalam berlusin pita<br />Dibuat makalah : didiskusikan dengan sejumlah seponsor<br />Dibumbui referensi busuk duniawi. Dijadikan nara sumber<br />Dibedah dari berbagai sudut ilmiah semu di hotel brbintang<br />Hu, hu, hu, … …<br /><br />Mereka yang mengaku anak cucu sufi itu larut<br />Sambil memangku para betina. Menjelma menjadi binatang<br />Yang belajar bicara macam manusia. Membuat kesimpulan<br />Tentang perlunya sejarah baru yang baku<br />O, mereka makin lepas landas. Mengingkari banjir bandang<br />Yag menyelamatkan Nuh. Mengingkari kulit mulus Yunus<br />Yang terhindar dari runcingnya gigi ikan buas<br />Mengingkari azab. Mengingkari angin, petir dan bumi<br />Yang berguncang. O, aku menyaksikan<br />Wajah-wajah kaum A’ad dan Tsamud di tengah-tengah mereka<br /><br />Aku seperti tengah menonton Qorun dan Fir’aun berpidato di mimbar<br />Aku bagai sedang diracuni puisi Ubay bin Kalaf yang berapi-api<br />Maka aku berteriak keras-keras terhadap mereka. Mencaci-maki<br />Mengasa ayat-ayat suci jadi pedang yang tajam<br />Dan menuding-nuding kewajah mereka dengan rasa jijik<br />O, para keledai itu sangat profesional dengan peranannya<br />Tak sedikitpun gentar, malah sebaliknya. Mereka kini mengamuk<br />Ke arahku, wahai Kekasih. Sekejap membuatku terpana<br />Bagai menyaksikan reinkarnasi penderitaan Nabai-Nabi<br /><br />O, langit-Mu menggelarkan episode masa-lalu. Ada wajah Zakariya<br />Yang digergaji. Ada wajah Isa yang disalib<br />Dan tangan-Mu menyibak hijab dalam potret nurani: Langit<br />Diserbu darah suci mereka. Lapis bumi teratas merubah diri jadi sayap.<br />Membawa terbang kebenaran ke gerbang mahligai-Nya<br />Dan al-Hallaj merintih dibanjir Tigris yang dia ciptakan<br />Dan Rabi’ah mati diatas sajjadah kesederhanaan<br />Ditikam cinta dan airmata ketakutan.<br /><br />Begitu lama kutunggu akhir kegilaan ini, wahai Kekasih<br />Sebuah penantian yang panjang yang nyaris membuatku bosan.<br />Sambil mencatat semua tingkah-Mu terhadapku. Malam-malam Enkau menarik<br />selimut tidurku dengan sebuah bisikan itu ke itu : “Bangunlah<br />Aku menanti kau di langit pertama-Ku.” Lantas aku<br />menggeliat membuang tahu dunia di kedua pinggir mata hatiku<br />Menepis mimpi-mimpi masyarakat yang melenakan sejak awal malam<br />Membasuh semua kepalsuan dengan bening air suci Kau.<br /><br />O, didalam diri aku ambruk Sujudku basah<br />Di tas sajjadah bumi-Mu. Menikmati batin<br />Yang kini sejuk tersiram kasturi cinta nurani tatkala suluk<br />(saat kuterjaga, jasadku jadi kelaparan<br />selepas ekstase daku mencakar-cakar ladang dunia buat kehidupan).<br /><br />Pecinta Sejati (Syair Muhammad Zuhdi Saad)<br />Kekasih Tuhan itu sakit di dunia ini,<br />Penderitaannya tak kunjung seda,<br />Kesedihannya satu-satunya pelipur hatinya,<br />Barangsiapa benar-benar mencintai Pencipta Agung …<br /><br />Berkelana ke seluruh dunia bersama-Nya,<br />Di dalam pikiran-Nya<br />Dan di karuniai penglihatan akan Dia.<br /><br />Seputar Rasa Mabuk Ilahi: Syair Rabiah Asy Syamiyah Al Adawiyah<br />Dzauq Dan Syurb<br /><br />Gelas minuman adalah susuan kita<br />Kalau tak kita rasa<br />Tak hidup kita<br /><br />Aku heran orang bicara, “Aku telah ingat Allah”<br />Apakah aku alpa? Lalu kuingat yang kulupa?<br />Kuminum Cinta, gelas piala demi gelas<br />Tuntas habis, tak puas pula<br />dahaga.<br />Tentang Mabuk Ilahi para Sufi sering mengutip syair<br />Pabila pagi cerah dengan kejora citanya<br />itulah keserasian<br />Antara kemabukan dan kesukacitaan.<br />Sadar Dan Mabuk<br />Kesadaranmu dari KataKu<br />adalah sinambung<br />Dan mabukmu dari bagianKu<br />menyilakan teguk minuman<br />Tak bosan-bosan peminumnya<br />Tak bosan-bosan peneguknya<br />Menyerah pada sudut piala<br />yang memabukkan jiwanya.<br /><br />Orang-orang mabuk kepayang memutari gelas piala<br />Sedang mabukku dari yang Maha Pemutar Piala<br />Ada dua kemabukan bagiku<br />dan hanya dua penyesal hanya satu<br />Yang diperuntukkan bagi mereka<br />hanya untukku.<br />Dua mabuk kepayang<br />Mabuk cinta<br />Mabuk abadi<br /><br />Ketika siuman<br /><br />Segalanya bugar kembali.<br />Fana’ Dan Baqa’ (Syair yang sering dikutip para sufi).<br />Ada kaum yang tersesat di padang gersang<br />Ada pula yang tersesat di padang cintanya<br />Mereka sirna, kemudian sirna dalam kesirnaan, lalu sirna total<br />Lalu mereka kekal, dalam kekalnya kekal dari kekaraban dengan Tuhannya.<br /><br />Haal<br /><br />Kalau tidak menempati, pasti bukan Haal<br />Setiap yang menempati<br />Pasti hilang<br />Lihatlah bayangan sampai ujungnya<br />Berkurang ketika ia memanjang.<br /><br />Syekh Abul Hasan al-Kharqani qs<br />Aku bukanlah seorang rahib (pertapa).<br />Aku bukan seorang zahid (asketis).<br />Aku bukanlah seorang khatib (penceramah).<br />Aku bukanlah seorang Sufi.<br />Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Esa, dan aku menyatu dalam Keesaan-Mu.<br /><br />TIPUAN PALSU<br /><br />Aku melihat tipu muslihat dunia,<br />tatkala ia bertenggerdi atas kepala-kepala manusia,<br />dan membincangkan manusia-manusia yang terkena<br />tipunya.<br />Bagi mereka,<br />Orang sepertiku tampak amat tak berharga.<br />Aku disamakan olehnya,<br />dengan anak kecil yang sedang bermain di jalanan.<br /><br />MENCINTAI AKHIRAT<br /><br />Duhai orang yang senang memeluk dunia fana,<br />Yang tak kenal pagi dan sore dalam mencari dunia,<br />Hendaklah engkau tinggalkan pelukan mesramu,<br />kepada duniamu itu.<br />Karena kelak engkau akan berpelukan,<br />Dengan bidadari di surga.<br />Apabila engkau harap menjadi penghuni surga abadi,<br />maka hindarilah jalan menuju api neraka.<br /><br />RENDAH HATI<br /><br />Bagaimana mungkin kita dapat sampai ke Sa’ad,<br />Sementara di sekitarnya terdapat gunung-gunung<br />dan tebing-tebing.Padahal aku tak beralas kaki,<br />dan tak berkendaraan.<br />Tanganku pun kosong dan,<br />jalan ke sana amat mengerikan.<br /><br />TENTANG CINTA<br /><br />Engkau durhaka kepada Allah,<br />dan sekaligus menaruh cinta kepada-Nya.<br />Ini adalah suatu kemustahilan.<br />Apabila benar engkau mencintai-Nya,<br />pastilah engkau taati semua perintah-Nya.<br />Sesungguhnya orang menaruh cinta,<br />Tentulah bersedia mentaati perintah orang yang dicintainya.<br />Dia telah kirimkan nikmat-Nya kepadamu,<br />setiap saat dan tak ada rasa syukur,<br />yang engkau panjatkan kepada-Nya.<br /><br />KEPUASAN (QANA’AH)<br /><br />Aku melihat bahwa kepuasan itu pangkal kekayaan,<br />lalu kupegang erat-erat ujungnya.<br />Aku ingin menjadi orang kaya tanpa harta,<br />dan memerintah bak seorang raja.<br /><br />ANUGRAH ALLAH<br /><br />Aku melihat-Mu pada saat penciptaanku,<br />yang penuh dengan anugerah.<br />Engkaulah sumber satu-satunya,<br />pada saat penciptaanku.<br />Hidarkan aku dari anugerah yang buruk.<br />Karena sepotong kehidupan telah cukup bagiku,<br />hingga saat Engkau mematikanku.Antung Kadirhttp://www.blogger.com/profile/18392657561847849377noreply@blogger.com0